Diklat Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan Ke 2 LAN RI Tahun 2022.
Wartakapuas.id – Egosektoral Penghambat Pembangunan Secara Utuh.
Itulah materi yang dibahas Drg. Roy Naibaho M.KM Sekretaris dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Sanggau bersama kelompoknya, kelompok 1 peserta Diklat Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan Ke-2 LAN RI tahun 2022 dilaksanakan dari tanggal 21 April sampai 31 Agustus 2022 di Jatinangor, Provinsi Jawa Barat.
Agenda pertama terkait Wawasan Nusantara dan Kepemimpinan Pancasila dengan pemateri yakni Burdan Ali Junjunan, SH, M.Si sebagai Widyaiswara Ahli Utama.
Yang melatarbelakangi Ego sektoral ini adalah suatu permasalahan yang ada di dalam suatu instansi untuk berlomba-lomba dalam menunjukan instansi terbaik tetapi berdampak buruk. Ego sektoral bagaikan benteng kokoh yang menghadang setiap upaya untuk bersinergi meraih tujuan dan kemajuan. Istilah ego sektoral berkaitan dengan mental cerobong (silo mentality atau silo thinking) yaitu pola pikir dan tindakan yang melekat pada sektor atau bagian tertentu tidak ingin berbagi informasi dengan pihak lain dalam suatu organisasi/perusahaan/negara yang sama.
Akibatnya bukan hanya mereduksi efisiensi operasional secara keseluruhan juga akan menggerus moral kebersamaan sehingga tidak mau berkontribusi dan sangat sulit untuk mencapai sinergi. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk hendaknya mampu menjaga dan melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa untuk menjadi negara yang maju; namun demikian keberagaman juga menjadi ancaman ketika ketika primordialisme dan ego sektor menguat dan saling mengalahkan. Dalam instansi/lembaga pemerintahan, keberagaman menjadi realitas yang tidak dapat dihindari.
Egosektoral hingga saat ini masih menjadi tantangan terbesar dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Bahkan, secara ekonomi, permasalahan ego sektoral ini membuat perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tidak sehat, tidak adil, dan tidak efisien dari sudut pandang kawasan. Ego sektoral juga menghambat terjadinya integrasi dan kohesi sosial ekonomi yang menjadi satu tahapan penting dalam membangun suatu kawasan.Ego sektoral juga menghambat terjadinya integrasi dan kohesi sosial ekonomi yang menjadi satu tahapan penting dalam membangun suatu kawasan. ego sektoral yang mengendap di birokrasi pemerintahan telah menghambat pembangunan. Sebagai contoh ego sektoral antara lembaga yang menjadi batu sandungan pemberian sertifikat hak milik tanah untuk rakyat, dan juga ego sektoral yang membuat pembangunan jalan tol tertunda hingga puluhan tahun. persoalan tersebut memperlihatkan ego sektoral di masing-masing kementerian dan lembaga, termasuk juga di pemerintah daerah. Jika ego sektoral tersebut dipertahankan, maka tidak akan ditemukan solusi bersama untuk kepentingan masyarakat.Ego sektoral di masing-masing lembaga juga telah menghambat pembangunan infrastruktur, seperti halnya jalan tol. Masalah pembangunan jalan tol yang kerap muncul adalah pembebasan lahan. Padahal, jika antara kementerian dan lembaga terkait dapat sinergi dan berkoordinasi dengan baik, masalah pembebasan lahan bisa teratasi sehingga pembangunan jalan tol tidak tertunda hingga bertahun-tahun.
Dengan contoh pembangunan WTP yang berbelit, hal serupa juga akan terjadi dalam persiapan proyek infrastruktur lainnya. memang harus diperbaiki bagaimana menghilangkan ego sektoral. Kalau tidak dibenahi maka ego sektoral ini akan terus berlanjut sampai hari ini. Jika ego ini bisa dihilangkan dan masing-masing sektor memberikan kemudahan dalam pembangunan infrastruktur, maka investor akan mudah masuk dan tidak terhalang untuk berinvestasi. Sebab, selama ini yang menarik investasi kembali keluar adalah kesulitan di daerah tempat infrastruktur akan dibangun. Rasanya sangat sulit untuk meniadakan ego sektoral, yang memungkinkan dilakukan adalah mereduksinya antara lain melalui solidaritas dan gotong royong untuk mencapai tujuan bersama. Terlebih di era demokrasi terutama pilpres dan pilkada langsung masih meninggalkan luka-luka sosial yang cenderung destruktif dalam polarisasi kepentingan yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan atau pun justru dipertentangkan demi kepentingan masing-masing, termasuk membela kepentingan asing. Disinilah diperlukan kepemimpinan nasional yang memiliki wawasan kebangsaan dan berkarakter negarawan.
Pembahasan
Sejak tahun 1970-an hingga 2022 ini semakin banyak keluhan terhadap egosektoral. Secara bahasa mungkin istilah “egosektoral” ini kian rancu karena yang mestinya “egoisme sektor”. Ego sektoral muncul akibat adanya kepentingan terhadap sesuatu yang melibatkan kelompok tertentu. Ego ini muncul setelah kelompok tertentu mengalami tekanan, atau mencari keuntungan untuk kelompoknya. Ego sektoral sering ditemukan dalam program-program pembangunan pemerintahan. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam rangka melaksanakan pembangunan. Pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Upaya ini bukan hanya dilakukan pemerintah saja, namun juga harus dibarengi dengan kerja sama rakyat Indonesia. Pelaksanaan pembangunan merupakan upaya untuk meraih tujuan serta cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang 1945 Alinea V dan Alinea II.
Ego sektoral inilah yang sesungguhnya menyebabkan program-program pemerintah selama ini sulit diimplementasikan, akibatnya beberapa program-program pemerintah saling bertabrakan dan jalan di tempat. Melalui peraturan Presiden (PP) Nomor 5 Tahun 2010 tentang permasalahan, terutama terkait dengan ego sektoral masing-masing instansi pemerintah. Aparatur sipil negara (ASN) sebagai aparatur penyelenggara negara sudah seharusnya menjadi motor penggerak persatuan dan kesatuan serta menjadi contoh bagi warga bangsa dan masyarakat dalam mencapainya, bukan sebaliknya menjadi contoh buruk mendorong terjadinya disintegrasi bangsa dan fragmentasi sektor.
Di negara lain perbaikan sistem kerja terus diperbarui. Di Inggris masa Tony Blair, ada “whole of government” (WoG) yang dikenal dengan istilah “Joined-Up Government”. Whole of Government (WoG) adalah sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan upaya-upaya kolaboratif pemerintah dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup koordinasi yang lebih luas guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan kebijakan, manajemen program dan pelayanan publik. Oleh karena itu, WoG juga dikenal sebagai pendekatan integrancy, yaitu pendekatan yang melibatkan sejumlah kelembagaan yang terkait dengan urusan-urusan yang relevan. Di Australia, Jhon Howard mendorong koalisi sosial antar aktor pemerintah, bisnis, dan kelompok masyarakat. Koalisi sosial ini mendorong penyamaan persepsi terhadap suatu hal sehingga terwujud koordinasi alamiah.
Format kelembagaan dan birokrasi di Indonesia tampak ketinggalan zaman. Padahal aspek ini menjadi kendaraan utama implementasi undang-undang dan pelayanan publik. Konsep-konsep modernisasi kelembagaan dan inovasi birokrasi serta teknologinya, yang bisa mereduksi ego sektoral, pun sudah tersedia. Padahal, kebutuhan dan kesadaran masyarakat terhadap pelayanan publik yang prima semakin tinggi. Masyarakat terus menginginkan pelayanan cepat, aman dan nyaman. Maka dari itu, harus ada sebuah evolusi administrasi publik olaborasi dan prinsip satu tujuan sehingga latar dalam pelayanan dapat mengacu asas efektif dan efisien.
Berikut beberapa cara menghapus ego sektoral :
Dalam perspektif manajemen
Manajemen adalah seni mengatur sesuatu, orang, benda, ataupun pekerjaan. Manajemen adalah proses yang dilakukan untuk tujuan organisasi dengan bekerja dalam tim. Mengacu pada definisi itu, manajemen pembangunan pembangunan dapat dimaknai sebagai seni mengatur regulasi, norma, standar, dan fasilitasi negara dalam mewujudkan tujuan pembangunan, khususnya mewujudkan kedaulatan pangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Fungsi manajemen mencakup lima aspek, yakni: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penempatan (staffing), pengoordinasian (coordinating), serta pengawasan (supervising) dan pengendalian (controlling). Perencanaan adalah proses mentality.
Inter-sektoral, yaitu kolaborasi dua institusi yang memiliki tugas dan fungsi berbeda. Dalam hal ini, salah satu institusi memposisikan sebagai mitra pembantu sepenuhnya untuk melaksanakan misi mewujudkan visi dan institusi yang dibantunya. Kementerian/lembaga mitra pembantu mengalokasikan sumber dayanya kepada kementerian/lembaga koordinator kemitraan.
Multi-sektoral, yaitu kolaborasi komplementer antar beberapa institusi. Dalam kolaborasi ini setiap institusi melaksanakan fungsi dan tugas sesuai dengan visi dan misi masing-masing. Pada kerja sama multi-sektoral, para kolaborator mengintegrasikan pekerjaan secara aditif. Tipe kolaborasi ini bermanfaat untuk mendapatkan hasil akhir dari penggabungan kegiatan.
Keberagaman Indonesia dalam konteks suku bangsa, agama, nilai dan keyakinan menjadi khazanah kebhinekaan yang mempunyai dua sisi mata pedang yang berbeda satu sama lain. Sebagai sebuah bentuk kekayaan, maka kondisi majemuk bangsa merupakan sebuah realitas yang bisa menghadirkan potensi-potensi pendorong adanya pertumbuhan dan kerjasama. Namun disisi lain, keberagaman juga menjadi ancaman ketika primordialisme dan ego sektor menguat dan berusaha untuk saling “mengalahkan”.
Begitupun dalam tubuh pemerintahan, keberagaman juga mewarnai sektor yang relatif berbeda satu sama lain. Perbedaan antar sektor secara alami mendorong adanya perbedaan visi dan misi serta orientasi masing-masing sektor yang pada akhirnya akan mendorong adanya kompetisi atau persaingan antar sektor. Satu sektor akan memandang sektor lain tidak lebih penting dari sektornya dan demikian juga sebaliknya. Mentalitas yang sempit akan lebih mementingkan sektor masing-masing bisa terus menguat apabila perekat antar sektor lemah atau bahkan tidak ada.
Kesimpulan
Perbedaan antar sektor mendorong munculnya perbedaan visi dan orientasi, yang pada akhirnya akan mendorong munculnya kompetisi atau persaingan antar sektor. Beragam kepentingan yang diemban oleh masing-masing instansi menimbulkan ancaman ketika ego sektoral menguat dan masing-masing instansi seakan-akan berlomba untuk saling mengalahkan. Satu sektor atau instansi bisa saja memandang sektor atau instansi lain tidak lebih penting dari sektornya sendiri.
Reformasi birokrasi yang diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tidak boleh sekedar diartikan sebagai reformasi mental aparatur pemerintahan, melainkan juga mereformasi sistem pelayanan masyarakat sehingga menjadi lebih efektif dan terbebas dari ego sektoral.
Beberapa hal lain terkait penyelenggaraan pemerintahan seperti mengapa satu isu atau masalah dapat diatasi oleh kebijakan atau institusi tertentu, padahal isu atau masalah tersebut memerlukan upaya lebih dari sekedar jawaban kebijakan atau penanganan institusi tersebut.
Saran
Fakta dilapangan yang terjadi menggambarkan bahwa koordinasi merupakan faktor yang dominan akan keberhasilan maupun ketidakberhasilan lembaga negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Untuk itu dibutuhkan peran pemimpin yang tidak apatis bisa mengintegrasikan, memadukan seluruh kementerian, lembaga, dan juga pemerintah daerah semuanya bekerja dengan tujuan yang sama menyelesaikan masalah-masalah serta mampu membuka diri kepada semua lembaga yang terlibat untuk berkoordinasi menyamakan persepsi dan pandangan mereka tentang arah penegakan hukum dan kebijakan politik di indonesia.
Kelompok 1 peserta Diklat PKA LAN RI tahun 2022 mendiskusikan terkait tema “Ego Sektoral Lembaga Penghambat Kelancaran Pembangunan” (*)